Penjabaran Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Sila keempat Pancasila adalah Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, yang berarti pemerintahan negara Indonesia dilaksanakan oleh rakyat melalui perwakilan-perwakilannya yang dipilih secara demokratis. Sila ini juga mengandung makna penghargaan terhadap hak-hak politik rakyat, seperti hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Sila ini juga menuntut adanya sikap saling menghormati dan menghargai pendapat antara pemerintah dan rakyat, serta antara sesama anggota masyarakat.
Pasal-pasal UUD NRI 1945 yang berkaitan dengan sila keempat Pancasila antara lain adalah:
Sila kelima Pancasila adalah Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang berarti pemerataan hak dan kewajiban, serta kesempatan dan kemampuan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa diskriminasi. Sila ini juga mengandung makna perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat, seperti hak atas kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan hidup yang baik. Sila ini juga menuntut adanya sikap saling menghargai dan menghormati antara sesama anggota masyarakat, serta menjaga keharmonisan dan keseimbangan antara individu, masyarakat, dan negara.
Pasal-pasal UUD NRI 1945 yang berkaitan dengan sila kelima Pancasila antara lain adalah:
Demikianlah penjelasan tentang penjabaran Pancasila dalam pasal-pasal UUD NRI 1945. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan pasal-pasal UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara. Pasal-pasal UUD NRI 1945 merupakan perwujudan dari nilai-nilai Pancasila dalam bentuk norma-norma hukum yang mengatur tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia wajib menjunjung tinggi Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagai landasan ideologis dan konstitusional negara.
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Indonesian national motto
Bhinneka Tunggal Ika is the official national motto of Indonesia. It is inscribed in the national emblem of Indonesia, the Garuda Pancasila, written on the scroll gripped by the Garuda's claws. The phrase comes from Old Javanese, meaning "Unity in Diversity," and is enshrined in article 36A of the Constitution of Indonesia. The motto refers to the unity and integrity of Indonesia, a nation consisting of various cultures, regional languages, races, ethnicities, religions, and beliefs.
The phrase is a quotation from an Old Javanese poem Kakawin Sutasoma, written by Mpu Tantular, a famous poet of Javanese literature during the reign of the Majapahit empire in the 14th century, under the reign of King Rājasanagara (also known as Hayam Wuruk).
Translated word for word, bhinnêka is a sandhi form of bhinna meaning "different"; the word tunggal means "one" and the word ika means "it". Literally, Bhinneka Tunggal Ika is translated as "It is different, [yet] it is one". Conventionally, the phrase is translated as "Unity in Diversity",[1] which means that despite being diverse, the Indonesian people are still one unit. This motto is used to describe the unity and integrity of Indonesia which consists of various cultures, regional languages, races, ethnicities, religions, and beliefs. As head of the Faculty of Philosophy of Gadjah Mada University, Rizal Mustansyir, writes, "the motto of Bhinneka Tunggal Ika explains clearly that there is diversity in various aspects of life that makes the Indonesian nation a unified nation."[2]
The phrase originated from the Old Javanese poem Kakawin Sutasoma, written by Mpu Tantular a famous poet of Javanese Literature during the reign of the Majapahit empire sometime in the 14th century, under the reign of King Rājasanagara, also known as Hayam Wuruk.[3] The Kakawin contains epic poems written in metres. The poem is notable as it promotes tolerance between Hindus (especially Shivaites) and Buddhists.[4]
The phrase Bhinneka Tunggal Ika was published in an article entitled Verspreide Geschriften which was written by a Dutch linguist orientalist Johan Hendrik Casper Kern. Kern's writings were later read by Mohammad Yamin, who then brought the phrase to the first Investigating Committee for Preparatory Work for Independence (BPUPK) session, between 29 May to 1 June 1945.[5]
The motto Bhinneka Tunggal Ika was later incorporated into the state emblem, the Garuda Pancasila. Reporting from the Directorate General of Culture of the Republic of Indonesia, the state symbol was designed by Sultan Hamid II and announced to the public on 15 February 1950.[6]
The phrase, along with Pancasila as national emblem and 20 other articles, is officially included into the Constitution of Indonesia after the second amendment of the constitution was ratified on People's Consultative Assembly (MPR) parliamentary session in 7–18 August 2000.[7][8]
This quotation comes from canto 139, stanza 5. The full stanza reads as follows:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
It is said that the well-known Buddha and Shiva are two different substances. They are indeed different, yet how is it possible to recognise their difference in a glance, since the truth of Jina (Buddha) and the truth of Shiva is one. They are indeed different, but they are of the same kind, as there is no duality in Truth.
This translation is based, with minor adaptations, on the critical text edition by Soewito Santoso.[1]
This idea is a constant theme throughout Mpu Tantular's writings and can also be found in his other writing, the Kakawin Arjunawijaya, canto 27 stanza 2:[9][10]
ndan kantênanya, haji, tan hana bheda saṅ hyaṅ hyaṅ Buddha rakwa kalawan Śiwarājadewa kālih samêka sira saṅ pinakeṣṭi dharma riṅ dharma sīma tuwi yan lêpas adwitīya
Clearly then, Your Majesty, there is no distinction between the Deities: the hyaṅ Buddha and Siwa, the lord of gods, both are the same, they are the goals of the religions; in the dharma sīma as well as in the dharma lêpas they are second to none.
Penjabaran Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua Pancasila adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang berarti sikap hormat-menghormati dan menjunjung tinggi martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Sila ini juga mengandung makna persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia, tanpa membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, atau golongan. Sila ini juga menuntut adanya sikap saling membantu dan bekerja sama antara sesama manusia demi kesejahteraan bersama.
Pasal-pasal UUD NRI 1945 yang berkaitan dengan sila kedua Pancasila antara lain adalah:
Penjabaran Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber segala kebenaran dan keadilan. Sila ini juga mengandung makna toleransi dan kerukunan antar umat beragama, serta kewajiban menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Pasal-pasal UUD NRI 1945 yang berkaitan dengan sila pertama Pancasila antara lain adalah:
Pancasila adalah dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Pancasila merupakan hasil perumusan dan penyempurnaan dari nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu kala. Pancasila mengandung lima sila yang saling berkaitan dan menyatu, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara berarti merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Pancasila juga merupakan asas kerohanian tertib hukum Indonesia, yang dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD NRI 1945, yang meliputi suasana kebatinan UUD NRI 1945, yang pada akhirnya dijabarkan dalam pasal-pasal UUD NRI 1945. Dengan demikian, pasal-pasal UUD NRI 1945 harus selaras dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Penjabaran Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
Sila ketiga Pancasila adalah Persatuan Indonesia, yang berarti kesadaran dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia yang memiliki berbagai macam suku, bahasa, adat istiadat, agama, dan kebudayaan. Sila ini juga mengandung makna persatuan dan kesatuan wilayah negara Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dan daerah. Sila ini juga menuntut adanya sikap cinta tanah air, menjaga keutuhan NKRI, serta menghargai keragaman dan kekayaan bangsa.
Pasal-pasal UUD NRI 1945 yang berkaitan dengan sila ketiga Pancasila antara lain adalah: