Tahun Baru Imlek 2024
Menurut penanggalan tionghua, tahun baru Imlek 2575 menandai dimulainya tahun naga. Kalender tionghua adalah penanggalan yang menggunakan baik perputaran matahari dan perputaran bulan (lunisolar). Bila dihitung berdasarkan kalender masehi, tahun baru imlek selalu jatuh di antara bulan Januari dan Februari. Tahun ini perayaan tahun baru Imlek jatuh pada pada hari Sabtu, 10 Februari 2024. Tahun baru Imlek biasanya dirayakan dengan makan malam bersama dengan keluarga, aktivitas membersihkan rumah untuk menyapu bersih "kemalangan" tahun lalu dan menyambut "nasib baik" di tahun yang baru. Selain itu perayaan Imlek tidak lepas dengan pemberian angpao atau amplop merah. Angpao biasanya diberikan oleh yang sudah menikah kepada yang masih belum menikah. Di Indonesia, tahun baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional berdasarkan Keppres No 19/2002 dan mulai dirayakan sebagai hari libur nasional sejak tahun 2003. Selain di Indonesia, tahun baru Imlek juga merupakan hari libur nasional di Brunei, Filipina, Korea, Malaysia, Mauritius, Singapura, Tiongkok, Thailand dan Vietnam.
Selain terbatas penggunaannya, masyarakat juga jarang melihat atau memperhatikan kalender Jawa dan kalender Islam yang biasanya disatukan dengan kalender Masehi dalam ukuran angka atau keterangan yang lebih kecil. Selain itu, sebagian kalender Masehi juga tidak mencantumkan kalender Islam, apalagi kalender Jawa.
Untuk keperluan sehari-hari, masyarakat menggunakan kalender Masehi yang dipakai secara internasional. Negara terakhir yang turut menjadikan kalender Masehi sebagai acuan untuk pengaturan administrasi sipil adalah Arab Saudi pada 2016. Sebelumnya Arab Saudi menggunakan kalender Islam. Kini, kalender Islam hanya digunakan untuk kepentingan ibadah dan kalangan terbatas.
Melemahnya peran keraton dan wilayah yang jauh dari pusat keraton membuat informasi tentang perubahan kurup atau pembaruan sistem kalender Jawa itu tidak sampai ke masyarakat.
Kekurangpahaman masyarakat tentang kalender Jawa dan kalender Islam membuat sebagian masyarakat menyebut perayaan 1 Muharam 1445 H yang berlangsung di sejumlah daerah pada Selasa (18/7/2023) juga menyebutnya dengan perayaan 1 Sura. Padahal, perayaan 1 Sura 1957 (Jimawal) baru akan digelar Karaton Yogyakarta dan Surakarta pada Rabu (19/7/2023) malam.
Tahun ini, 1 Muharam jatuh pada Rabu (19/7/2023) atau tepatnya Selasa (18/7/2023) selepas Matahari terbenam hingga Rabu (19/7/2023) sebelum Matahari terbenam. Karena awal hari kalender Islam dimulai pada malam hari, bukan dini hari seperti kalender Masehi, masyarakat biasanya menyebut 1 Muharam 1445 H ini jatuh pada malam Rabu, jarang yang menyebutnya Selasa malam.
Awal bulan (month) dalam kalender Islam ditentukan berdasar ketampakan Bulan (moon). Karena itu, kalender Islam disebut sebagai kalender astronomi. Untuk Muharam 1445 H ini, data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebut, ijtimak atau konjungsi yang berarti kesegarisan Matahari, Bulan, dan Bumi yang jadi tanda fase Bulan baru terjadi Selasa (18/7/2023) pukul 01.32 WIB.
Akibatnya, pada Selasa (18/7/2023) petang saat Matahari terbenam, posisi Bulan di seluruh wilayah Indonesia telah memiliki ketinggian 5,03-7,50 derajat dan elongasi atau jarak sudut Matahari-Bulan mencapai 7,44-8,57 derajat. Umur Bulan berkisar 14,06-17,43 jam.
Dengan hisab kriteria imkan rukyat (kemungkinan terlihatnya hilal) yang dianut pemerintah dan sebagian besar organisasi masyarakat Islam, yaitu syarat masuk bulan baru jika ketinggian hilal minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat, maka 1 Muharam 1445 H jatuh pada Rabu (19/7/2023).
Demikian pula dengan hisab kriteria wujudul hilal (terbentuknya hilal) yang dipakai Muhammadiyah, 1 Muharam 1445 juga jatuh pada Rabu (19/7/2023). Syarat bulan baru dalam kriteria ini sudah terpenuhi semua, yaitu ijtimak terjadi sebelum maghrib, Bulan sudah di atas ufuk, dan Matahari terbenam lebih dulu dari Bulan.
Akibatnya, bulan Zulhijah 1444 H yang merupakan bulan ke-12 dalam kalender Islam memiliki panjang 30 hari bagi yang menggunakan kriteria wujudul hilal dan 29 hari bagi yang memakai kriteria imkan rukyat. Kedua kelompok ini memang memasuki bulan Zulhijah 1444 H secara berbeda sehingga Idul Adha mereka pun berbeda.
Perayaan tahun baru Islam di Indonesia yang jatuh pada Rabu (19/7/2023) itu juga sama dengan banyak negara di dunia. Sesuai data Proyek Pengamatan Hilal Pusat Astronomi Internasional (ICOP IAC) yang berbasis di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 1 Muharam 1445 H juga dirayakan pada Rabu (19/7/2023) di Arab Saudi, Turki, Malaysia, Libya, hingga Sudan. Namun, Pakistan baru akan merayakan tahun baru hijriah pada Kamis (20/7/2023).
Baca juga: Gerhana Matahari Bukan Tanda Awal Bulan dalam Kalender Hijriah
Meski sebagian besar umat Islam merayakan tahun baru Islam secara bersamaan, setiap negara dan ormas Islam memiliki kriteria awal bulan kalender Islam yang berbeda. Akibatnya, di satu titik mereka merayakan hari raya atau awal bulan secara bersamaan, tetapi di saat yang lain merayakannya secara berbeda. Kebersamaan yang terjadi hanyalah kebetulan belaka.
Kalender Islam tidak memiliki otoritas tunggal yang mengaturnya, termasuk di Indonesia. Ini adalah persoalan terbesar dalam kalender Islam saat ini, selain belum adanya kriteria tunggal. Meski pemerintah melalui Kementerian Agama mengatur penentuan awal bulan kalender hijriah, sebagian ormas Islam tetap menggunakan caranya sendiri.
Kondisi itu berbeda dengan kalender Masehi yang diatur oleh Gereja Katolik Vatikan. Meski kalender Masehi masih memiliki potensi kesalahan di masa depan, keajekan aturan yang menimbulkan kepastian membuat kalender ini dijadikan patokan untuk pengaturan administrasi sipil di semua negara di dunia.
Kalender Islam bersumber dari kalender Arab pra-Islam. Kalender itu digagas menjadi kalender Islam di era kepemimpinan Umar bin Khattab. Untuk epoch atau titik awalnya ditentukan berdasar waktu hijrah atau berpindahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah, Arab Saudi, pada tahun 622 Masehi.
Satu bulan dalam kalender Islam memiliki panjang 29-30 hari. Namun, panjang hari di setiap bulan hanya ditentukan berdasarkan periode sinodis Bulan, dari ijtimak ke ijtimak berikutnya atau dari Bulan mati ke Bulan mati berikutnya.
Baca juga: Kalender Masehi Masih Menyimpan Kesalahan
Sistem perhitungan atau hisab sebenarnya bisa digunakan untuk menentukan panjang bulan setiap bulannya. Namun, untuk tiga bulan terkait ibadah wajib atau haram, yaitu Ramadhan (bulan ke-9), Syawal (ke-10), dan Zulhijah (ke-12), sebagian besar umat Islam tetap menentukannya dengan pengamatan (rukyat) hilal.
Sementara tahun baru Jawa pada 2023 ini, menurut kalender yang diterbitkan majalah dwimingguan berbahasa Jawa, Jaya Baya, 1 Sura 1957 (Jimawal) jatuh pada Kamis Pahing (20/7/2023) atau tepatnya dari Rabu (19/7/2023) selepas Matahari terbenam hingga Kamis (20/7/2023) sebelum Matahari terbenam.
Sama seperti penyebutan hari dalam kalender Islam, masyarakat umum akan menyebut 1 Sura 1957 (Jimawal) dimulai pada malam Kamis Pahing, jarang yang menyebut dimulai pada Rabu Legi malam. Masyarakat Indonesia memang memiliki budaya menyebut waktu terlebih dulu sebelum nama hari untuk menandakan bahwa awal hari dimulai pada malam hari. Akibatnya, masyarakat lebih suka menyebut malam Minggu daripada Sabtu malam.
Sistem Penanggalan Jawa
Kalender Jawa adalah kalender matematis, yaitu panjang setiap bulannya sudah ditentukan jumlah harinya dengan bulan berangka ganjil memiliki panjang 30 hari dan bulan berangka genap mempunyai 29 hari. Jumlah hari dalam satu tahunnya antara 354 hari untuk tahun basit (pendek) dan 355 hari untuk tahun kabisat (panjang).
Ketentuan panjang hari setiap bulan inilah yang membuat Idul Fitri dalam kalender Islam dan Jawa beberapa kali mengalami perbedaan. Bulan Ramadhan dalam kalender Islam bisa memiliki panjang 29 hari atau 30 hari, tetapi bulan Pasa dalam kalender Jawa yang setara dengan Ramadhan selalu memiliki panjang 30 hari.
Meski demikian, panjang bulan Besar 1956 (Ehe) atau bulan ke-12 pada kalender Jawa pada tahun 2023 ini berbeda dengan aturan biasanya. Sebagai bulan genap, jumlah hari bulan Besar seharusnya 29 hari, bukan 30 hari seperti sekarang. Jumlah bulan Besar yang memiliki 30 hari menandakan bahwa tahun 1956 (Ehe) adalah tahun kabisat dengan tambahan satu hari ditempatkan pada bulan ke-12.
Karena itu, seperti yang banyak beredar di media sosial, perayaan 1 Muharam 1445 H yang dirayakan Selasa (18/7/2023) malam dan banyak disebut juga sebagai tanggal 1 Sura, sejatinya belum masuk 1 Sura 1957 (Jimawal). Dalam kalender Jawa, Selasa (18/7/2023) malam masih masuk tanggal 30 Besar 1956 (Ehe). Perayaan 1 Sura baru akan diperingati pada Rabu (19/7/2023) malam atau malam Kamis (20/7/2023).
Baca juga : Kalender Islam dan Kalender Jawa, Produk Budaya yang Kian Terpinggirkan
Alasan itu pula yang membuat acara kirab Lambah Budaya Mubeng Benteng Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kirab Pusaka Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat baru akan dilakukan pada Rabu (19/7/2023) malam seiring datangnya 1 Sura 1957 (Jimawal).
Kalender Jawa, seperti disebut dalam buku Penanggalan Jawa 120 Tahun Kurup Asapon karya H Djanudji (2006), mulai digunakan pada 1 Muharam 1043 H atau 8 Juli 1633 M atau bertepatan dengan tahun 1555 Saka di zaman berkuasanya Sultan Agung Hanyakrakusuma sebagai Raja Mataram.
Suasana prosesi kirab pusaka di Keraton Kasunanan Surakarta, Solo, Kamis (10/2/2005).
Kalender Jawa dibuat untuk menyatukan sejumlah penanggalan yang digunakan masyarakat Jawa saat itu, yaitu kalender Saka digunakan umat Hindu dan kalender Hijriah oleh umat Islam. Kalender Jawa merupakan pencampuran antara sistem kalender Hindu dan kalender Islam.
Nama hari dan bulan diserap dalam kalender Jawa diambil dari kalender Islam yang telah disesuaikan penyebutannya sesuai lidah dan budaya orang Jawa. Sementara angka tahun tetap memakai tahun Saka. Dengan demikian, awal tahun pertama kalender Jawa adalah 1 Sura 1555 (Alip), bukan tahun 1 Sura 1 (Alip).
Meski demikian, kalender Jawa tetap memiliki sejumlah fitur unik yang khas. Salah satunya adalah konsep hari yang terdapat dua sistem, yaitu ”saptawara” atau siklus mingguan (minggon) yang terdiri atas tujuh hari dari Ahad sampai Sabtu dan ”pancawara” atau siklus pasaran yang terdiri atas lima hari, yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Konsep hari pasaran itu dinilai lebih tua dibanding konsep hari mingguan.
Dalam penulisan tahun Jawa selalu disertai nama urutan tahun dalam satu windu atau siklus delapan tahunan. Penamaan tahun pertama hingga kedelapan dalam satu windu itu adalah Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Jadi, tahun lalu 1956 (Ehe) merupakan tahun kedua dalam siklus windu dan tahun yang baru 1957 (Jimawal) adalah tahun ketiga dalam satu siklus windu.
Lihat juga: Obor Keliling Kampung Sambut Tahun Baru Islam 1445 H
Dalam satu windu terdapat tiga tahun kabisat yang ditempatkan pada tahun Ehe (tahun kedua), tahun Dal (kelima), dan tahun Jimakir (kedelapan). Karena tahun 1956 termasuk tahun Ehe, maka tahun yang akan segera habis itu termasuk tahun kabisat dengan panjang bulan Besar (bulan ke-12) menjadi 30 hari.
Aturan windu itu membuat panjang satu tahun dalam kalender Jawa adalah 354 3/8 hari. Sementara rata-rata panjang satu tahun dalam kalender Islam yang jadi acuan kalender Jawa adalah 354 11/30 hari. Saat digunakan sebagai acuan kalender Jawa, kalender Islam masih bersifat matematis meski tidak murni karena masih menggabungkan dengan pengamatan Bulan. Beberapa dekade terakhir, kalender Islam cenderung menjadi kalender astronomis, sedangkan kalender Jawa tetap matematis.
Kepadatan warga Tengger di kawah Gunung Bromo saat perayaan Yadnya Kasada di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Senin (5/6/2023). Yadnya Kasada merupakan sebuah upacara persembahan untuk Sang Hyang Widhi dan para leluhur suku Tengger yang digelar setiap Bulan Kasada hari ke-14 dalam penanggalan kalender tradisional Hindu Tengger.
Perbedaan panjang hari itu membuat dalam 120 tahun terdapat 45 tahun kabisat dalam kalender Jawa dan 44 tahun kabisat dalam kalender Islam. Artinya, dalam 120 tahun kalender Jawa akan lebih cepat satu hari dibanding tahun Islam. Dalam jangka panjang, kondisi itu akan membuat kalender Jawa terus lebih maju dari kalender Islam sehingga tidak selaras lagi dengan kalender Islam.
Kondisi ini baru disadari setelah 72 tahun kalender Jawa berjalan. Untuk menjaga agar awal kalender Jawa bisa bersamaan atau setidaknya tidak berbeda jauh dengan kalender Islam, dibuat siklus 120 tahunan yang disebut kurup.
Tahun ke-120 dalam kalender Jawa atau tahun kedelapan (Jimakir) pada windu ke-15 yang seharusnya merupakan tahun kabisat dibuat tetap menjadi tahun basit. Dengan demikian, jumlah tahun kabisat dalam kalender Jawa dan kalender Islam (matematis) sama banyaknya, yaitu 44 tahun.
Dengan aturan kurup atau siklus 120 tahunan itu, Tahun Baru Jawa pada 120 tahun berikutnya akan jatuh satu hari lebih awal, baik dalam penyebutan hari ”saptawara” maupun ”pancawara”. Kasunanan Surakarta menetapkan 1 Sura 1627 (Alip), atau 72 tahun setelah pelaksanaan kalender Jawa, jatuh pada Kamis Kliwon. Selanjutnya, 120 tahun kemudian, 1 Sura 1747 (Alip) akan jatuh pada Rabu Wage.
Lihat juga: Memberi Makan Kerbau Bule Keramat Milik Kasunanan Surakarta
Indikator Alip, Rabu (dalam bahasa Jawa: Rebo), dan Wage itu kemudian disingkat Aboge dan menjadi nama kurup. Kurup Aboge ini berlangsung dari 1 Sura 1747 (Alip) sampai 29 Besar 1866 (Jimakir). Pada 1 Sura 1867 (Alip) yang jatuh pada Selasa Pon akan masuk kurup baru yang disebut Asapon (Alip, Selasa, Pon). Kurup Asapon inilah yang saat ini berlaku, dari 24 Maret 1936 M sampai 25 Agutus 2052 M.
Namun, nyatanya masih ada masyarakat Jawa yang memakai kurup Aboge. Melemahnya peran keraton dan wilayah yang jauh dari pusat keraton membuat informasi tentang perubahan kurup atau pembaruan sistem kalender Jawa itu tidak sampai ke masyarakat.
Bagaimanapun, kelanggengan kalender atau sistem penanggalan sebagai produk budaya akan tersingkir jika tidak digunakan. Baik kalender Jawa yang cukup mapan maupun kalender Islam yang masih mendebatkan soal kriteria awal bulan sama-sama memiliki tantangan berbeda untuk bertahan.
Ahli kalender yang juga astronom Indonesia, Moedji Raharto, seperti dikutip Kompas, 6 November 2014, menyebutkan, walau ada pro dan kontra atau kritik dan ketidaksempurnaan, sebuah kalender tetap harus digunakan agar lestari. ”Jika tidak dimanfaatkan, kalender akan hilang,” katanya.
Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharam 1445 Hijriah.
Selamat Tahun Baru Jawa 1 Sura 1957 (Jimawal).
©2024 iStockphoto LP. Desain iStock adalah merek dagang iStockphoto LP.
©2024 iStockphoto LP. Desain iStock adalah merek dagang iStockphoto LP.
©2024 iStockphoto LP. Desain iStock adalah merek dagang iStockphoto LP.
Hari Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
Sejarah Singkat Bulan Muharram
Nama Muharram berasal dari kata “haram” yang berarti suci atau terlarang. Orang-orang Arab pada masa pra-Islam tidak boleh berperang atau membunuh selama bulan ini, sesuai dengan penamaan yang mengindikasikan larangan tersebut. Larangan ini tetap berlaku setelah masa masuknya Islam, dan bulan Muharram termasuk dalam empat bulan yang dihormati secara khusus.
Sejak zaman jahiliyah, nama-nama bulan seperti Muharram telah digunakan, meskipun pada masa itu masyarakat Arab tidak memiliki sistem penanggalan tahun. Bahkan pada masa Rasulullah SAW, umat Islam belum menggunakan angka tahun tetapi menamai tahun-tahun berdasarkan peristiwa penting yang terjadi.
Contohnya, tahun kelahiran Rasulullah disebut tahun gajah (amul fil) karena serangan pasukan gajah yang dimaksudkan untuk menghancurkan Ka’bah. Tahun-tahun lain dinamai berdasarkan peristiwa-peristiwa seperti perang Fijar (amul fijar) atau tahun dimana Rasulullah menerima wahyu.
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab r.a., kebutuhan untuk penanggalan yang lebih terstruktur muncul. Kesulitan dalam memahami informasi dalam surat-surat yang dikirimkan ke khalifah, terutama terkait kurangnya penanggalan tahun, menjadi masalah serius. Atas saran Gubernur Basrah Abu Musa Al Asy’ari r.a., Umar akhirnya mengesahkan penggunaan kalender Islam.
Setelah musyawarah dengan para sahabat terkemuka, diputuskan bahwa kalender Islam akan dimulai dari tahun hijrahnya Rasulullah. Sejak saat itu, kalender ini dikenal sebagai kalender hijriah. Utsman bin Affan r.a. mengusulkan agar bulan Muharram menjadi bulan pertama dalam kalender hijriyah. Alasannya adalah karena sejak lama orang Arab menganggap Muharram sebagai bulan pertama dalam penanggalan mereka. Selain itu, umat Islam menyelesaikan ibadah haji pada bulan Dzulhijjah dan bulan Muharram merupakan bulan di mana hijrah Rasulullah ke Madinah dimulai, setelah terjadinya Baiat Aqabah II pada bulan Dzulhijjah.
Keutamaan Bulan Muharram
Keutamaan bulan Muharram dalam Islam meliputi beberapa aspek penting yang dihormati oleh umat Muslim. Berikut adalah beberapa keutamaan utama bulan Muharram:
Muharram menandai awal tahun baru dalam kalender Islam (kalender hijriah), yang dimulai dari hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Ini adalah momen untuk merenungkan perjuangan dan keteguhan dalam menghadapi tantangan, serta untuk memperkuat iman dan praktik keagamaan.
Bulan Muharam merupakan salah satu bulan haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah : 36)
Empat bulan haram yang menurut Surat At Taubah ayat 36 ini adalah bulan Dzulqidah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Ashurul haram (bulan haram), termasuk bulan Muharam ini adalah bulan yang Allah muliakan. Bulan-bulan ini memiliki kesucian dan karenanya menjadi bulan pilihan. Di antara bentuk kesucian dan kemuliaan bulan-bulan ini adalah kaum muslimin dilarang berperang, kecuali terpaksa karena diserang oleh kaum kafir.
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengutip penafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. “Amal shalih di bulan haram pahalanya lebih besar, dan kezaliman di bulan ini dosanya juga lebih besar dibanding di bulan-bulan lainnya, kendati kezaliman di setiap keadaan tetap besar dosanya.”
Puasa yang dianjurkan pada bulan Muharram ialah puasa Tasua dan Asyura. Puasa Asyura, merupakan puasa sunah yang disyariatkan agama. Pelaksanaannya pada hari Asyura yaitu tanggal 10 bulan Muharram. Puasa Asyura dituntunkan oleh Rasulullah SAW karena puasa di hari Asyura merupakan bagian dari warisan agama yang telah dilakukan sejak zaman Nabi Ibrahim sebelum adanya perintah pelaksanaan bulan Ramadhan.
Nabi Muhammad SAW juga menganjurkan untuk melaksanakan puasa Tasua yang dilaksanakan pada 9 Muharram. Anjuran tambahan in diberikan sebagai pembeda dari kaum Yahudi yang juga melaksanakan puasa di hari Asyura.
Puasa Tasua dan Asyura serta puasa sunnah lainnya nilainya menjadi puasa yang paling mulia setelah Ramadhan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah (berpuasa) di bulan Allah, Muharam.” (HR. Muslim)
Hari Asyura adalah hari yang penting dalam sejarah Islam. Ini adalah hari di mana Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa AS dan Bani Israel dari Firaun dengan pembelahan Laut Merah. Hari ini juga diperingati oleh umat Islam untuk mengenang peristiwa-peristiwa penting lainnya yang terjadi pada bulan Muharram, termasuk peristiwa-peristiwa di masa Rasulullah dan setelahnya.
Bulan Muharram juga dikenal sebagai bulan di mana umat Islam dianjurkan untuk meningkatkan amalan saleh, bersedekah, dan melakukan kebaikan kepada sesama. Ini mencerminkan semangat solidaritas sosial dan kepedulian terhadap orang-orang yang membutuhkan.
Keutamaan-keutamaan ini menjadikan bulan Muharram sebagai waktu yang istimewa dalam kehidupan umat Muslim, di mana mereka meningkatkan ibadah, merenungkan sejarah Islam, dan memperdalam hubungan spiritual dengan Allah SWT serta dengan sesama.